Saturday, March 2, 2013

Cara Masyarakat Bali Menghadapi Perubahan Iklim dengan Kearifan Lokal

Isu perubahan iklim bukan isapan jempol belaka. Dampaknya telah terasa oleh seluruh umat manusia di dunia. Perubahan iklim tidak terjadi secara singkat. Cuaca akan berubah dengan ekstrim, suhu bumi kian meningkat terus menerus, berlanjut bahkan sampai 50 hingga 100 tahun ke depan.

Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang oksigen terbesar memiliki luas hutan tropis terluas ketiga dunia. Menteri kehutanan mengklaim hutan tropis ini memiliki luas 130 juta hektar, sehingga dikenal juga dengan paru – paru dunia. Sebenarnya mudah saja jika seseorang menginginkan kiamat. Tebang saja semua pohon di hutan Indonesia yang letaknya di sekujur tubuh pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua maka bumi pasti kiamat. Karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan tropis Indonesia untuk menjaga keseimbangan iklim. Potensi besar itulah yang membuat Indonesia patut menjaga kelestarian hutannya dengan kearifan lokal masyarakatnya. Kebetulan ketika tulisan ini dipublish, umat Hindu Bali sedang melaksanakan upacara Tumpek Wariga. Salah satu kearifan lokal yang masih dilaksanakan di Indonesia secara turun temurun.

Dalam hal beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim, masyarakat Bali memiliki ritual khusus yang dilaksanakan tiap 210 hari sekali yang sudah mereka laksanakan jauh sebelum isu perubahan iklim ini dikenal. Budaya adat tradisional yang sudah dilakukan sejak lama sebagai warisan nenek moyang. Masyarakat adat Bali menyebut ritual ini dengan Tumpek Wariga.

Tumpek Wariga, sebuah perayaan rasa syukur umat hindu di Bali terhadap manifestasi Tuhan dalam wujud tumbuh-tumbuhan. Tumpek Wariga dirayakan tepat pada hari Sabtu Kliwon wuku Wariga dalam penanggalan Kalender Bali. Hari dimana pemujaan dilakukan kepada Sang Hyang Sangkara. Beliau dipercaya sebagai manifestasi Tuhan untuk memelihara kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan di dunia.

Umat Hindu yang sedang melaksanakan Tumpek Wariga. (sumber: Alam Sekitar)

Selain itu, Tumpek Wariga atau juga disebut Tumpek Pengatag yang dirayakan 25 hari menjelang hari raya Galungan juga dimaksudkan agar pohon/tumbuh-tumbuhan yang ada selalu mampu memberi manfaat, memenuhi kebutuhan umat manusia, dan tidak memberikan kesengsaraan kepada manusia di dunia.  Seperti tumbuh-tumbuhan, daun-daunan, dan bunga. Buah - buahan serta bunga yang dihasilkan oleh tumbuh – tumbuhan ini digunakan umat untuk kepentingan merayakan Galungan. Biasanya perayaannya dilaksanakan dengan menghaturkan sesajen kepada tumbuh-tumbuhan. Memang tidak semua tumbuhan dihaturkan sesajen. Hanya beberapa pohon yang sering dimanfaatkan untuk sarana upacara maupun sehari-hari yang dihaturkan sesajen sebagai simbolis upacara ini.

Tengoklah juga beberapa pohon besar yang tumbuh di Bali. Beberapa pohon itu biasanya dipakaikan kain poleng (kain kotak-kotak warna hitam dan putih). Beberapa masyarakat Bali bahwa pada kain atau pohon tersebut tersebut ada penunggunya. Ternyata dibalik mitos tersebut sarat akan makna, agar pohon tersebut tidak sembarangan ditebang. Cara ini sangat sederhana untuk menjaga pohon agar tetap memberi oksigen disaat suhu bumi yang tengah meningkat. Pohon-pohon yang besar ini akan mengatur sirkulasi air. Dimana, air laut yang menguap akibat panas matahari berkumpul menjadi embun dan ditiup angin ke daerah lembab, Embun yang berisi kandungan air ini di daerah lembab akan menjadi hujan. Air hujan ini nantinya akan ditahan oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut. Berikut ini adalah video mengenai siklus hidrologi yang saya paparkan barusan:

Siklus Hidrologi

Tumbuh-tumbuhan telah banyak berjasa terhadap manusia. Dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia untuk memetik daunnya, buahnya, bahkan sampai batangnya dan akar diambil pun mereka rela. Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasih sayang dan rasa peduli kepada makhluk lainnya walaupun tidak sekelompok spesies dengan mereka. Tumbuhan mampu memberi makan dan menyediakan kebutuhan binatang dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti sayur, buah, kayu, serta rasa aman tempat berteduh.

Perwujudan Tumpek Wariga sebagai bentuk adaptasi orang Bali dalam menghadapi perubahan iklim bukan sebatas pada ritual semata. Kebutuhan orang Bali akan berbagai jenis tanaman untuk perlengkapan upacara menjadikan penanaman pohon sebagai suatu kewajiban. Bagi masyarakat Bali, kalau tanaman tersebut tidak ada maka upacara adat terasa kurang lengkap. Bahkan bagi beberapa kelompok masyarakat hal tersebut dipercaya akan mendatangkan bencana atau musibah. Kepercayaan inilah yang membuat mereka tetap menanam tumbuhan yang senantiasa menjadi kebutuhan upacara adat maupun sehari-hari.

Misalkan saja kebutuhan akan tanaman bambu yang banyak manfaatnya bagi orang Bali. Sebagai sarana utama pembuatan penjor dan daunnya yang dimanfaatkan untuk sarana pelengkap dalam sesajen. Jika orang Bali menebang semua bambu tetapi tidak pernah menanamnya atau membiarkan satu tanaman induknya, upacara akan tidak lengkap. Tidak ada lagi penjor yang berdiri kokoh saat perayaan Galungan. Tiada lagi sesajen yang dihaturkan. Pohon bambu memiliki manfaat yang besar pula terhadap lingkungan, terutama sebagai penyangga tanah. Akar bambu mampu menahan aliran air yang mengikis tanah sehingga tidak terjadi longsor khususnya di tepi aliran sungai.


Perayaan Tumpek Wariga merupakan satu dari ribuan kearifan lokal yang mengajarkan hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Ditengah kondisi perubahan iklim yang terjadi, menanam pohon secara kontinu sebagai sebuah kebutuhan adalah sebuah langkah sederhana. Namun, dari langkah kecil itulah kita mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang serba ekstrim seperti sekarang.

Tanpa tumbuh-tumbuhan semua makhluk hidup tidak dapat melangsungkan hidupnya di bumi ini. Mengapa? Karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah pemberian dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup. Bumi memberikan tanah. Langit menurunkan hujan untuk berkembangnya tumbuh-tumbuhan. Jangan lupa juga akan oksigen yang dihasilkan di tiap napas kita oleh tumbuhan.

Memelihara lingkungan bagi masyarakat Bali sudah menjadi yadnya (sedekah). Oleh karena itu dalam masyarakat Hindu Bali mengenal prinsip ”tebang satu, tanam kembali”. Ketika orang Bali menebang pohon, di bekas tebangan akan ditancapkan ranting atau dedaunan. Maknanya: bekas tebangan itu wajib ditanami kembali dengan harapan pohon tadi takkan punah tetapi akan tumbuh kembali.

Sebagai manusia hubungan baik dengan lingkungan memang harus tetap dijaga. Dengan dilaksanakannya Tumpek Wariga ini, masyarakat Bali setidaknya diajak untuk ingat atas jasa-jasa tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga lingkungan, dan sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi. Hal ini pulalah yang menyebabkan terlahirnya Oxfam. Bagi yang belum tahu Oxfam, Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Jika kamu ingin tahu mengenai konfederasi ini bisa langsung saja ke websitenta di http://www.oxfam.org.uk/indonesia, bisa juga lewat facebook di http://www.facebook.com/Oxfam.Indonesia, dan bisa juga cek di akun twitternya di @OxfamInAsia.

Semoga dengan kearifan lokal dan kegiatan seperti ini, perubahan iklim bisa dihentikan (Atau minimal dikurangi). Apalagi tentu di belahan Indonesia lainnya, bahkan di dunia, pasti masih ada usaha - usaha masyarakat untuk mengurangi perubahan iklim. Meski sedikit, tapi itu sangat berarti bagi planet ini. Bumi membutuhkan aksi nyata kita semua. Peran serta seluruh umat manusia.

Tabik.


No comments:

Post a Comment