Indonesia
sebagai salah satu negara penyumbang oksigen terbesar memiliki luas hutan
tropis terluas ketiga dunia. Menteri kehutanan mengklaim hutan tropis ini
memiliki luas 130 juta hektar, sehingga dikenal juga dengan paru – paru dunia. Sebenarnya
mudah saja jika seseorang menginginkan kiamat. Tebang saja semua pohon di hutan
Indonesia yang letaknya di sekujur tubuh pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua
maka bumi pasti kiamat. Karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan
tropis Indonesia untuk menjaga keseimbangan iklim. Potensi besar itulah yang
membuat Indonesia patut menjaga kelestarian hutannya dengan kearifan lokal
masyarakatnya. Kebetulan ketika tulisan ini dipublish, umat Hindu Bali sedang
melaksanakan upacara Tumpek Wariga. Salah satu kearifan lokal yang masih
dilaksanakan di Indonesia secara turun temurun.
Dalam
hal beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim, masyarakat Bali memiliki
ritual khusus yang dilaksanakan tiap 210 hari sekali yang sudah mereka laksanakan
jauh sebelum isu perubahan iklim ini dikenal. Budaya adat tradisional yang
sudah dilakukan sejak lama sebagai warisan nenek moyang. Masyarakat adat Bali
menyebut ritual ini dengan Tumpek Wariga.
Tumpek
Wariga, sebuah perayaan rasa syukur umat hindu di Bali terhadap manifestasi
Tuhan dalam wujud tumbuh-tumbuhan. Tumpek Wariga dirayakan tepat pada hari Sabtu
Kliwon wuku Wariga dalam penanggalan Kalender Bali. Hari dimana pemujaan
dilakukan kepada Sang Hyang Sangkara. Beliau dipercaya sebagai manifestasi Tuhan
untuk memelihara kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan di dunia.
Umat Hindu yang sedang melaksanakan Tumpek Wariga. (sumber: Alam Sekitar)
Selain
itu, Tumpek Wariga atau juga disebut Tumpek Pengatag yang dirayakan 25 hari
menjelang hari raya Galungan juga dimaksudkan agar pohon/tumbuh-tumbuhan yang
ada selalu mampu memberi manfaat, memenuhi kebutuhan umat manusia, dan tidak
memberikan kesengsaraan kepada manusia di dunia. Seperti tumbuh-tumbuhan, daun-daunan, dan
bunga. Buah - buahan serta bunga yang dihasilkan oleh tumbuh – tumbuhan ini
digunakan umat untuk kepentingan merayakan Galungan. Biasanya perayaannya
dilaksanakan dengan menghaturkan sesajen kepada tumbuh-tumbuhan. Memang tidak
semua tumbuhan dihaturkan sesajen. Hanya beberapa pohon yang sering
dimanfaatkan untuk sarana upacara maupun sehari-hari yang dihaturkan sesajen
sebagai simbolis upacara ini.
Tengoklah
juga beberapa pohon besar yang tumbuh di Bali. Beberapa pohon itu biasanya
dipakaikan kain poleng (kain
kotak-kotak warna hitam dan putih). Beberapa masyarakat Bali bahwa pada kain atau
pohon tersebut tersebut ada penunggunya. Ternyata dibalik mitos tersebut sarat
akan makna, agar pohon tersebut tidak sembarangan ditebang. Cara ini sangat
sederhana untuk menjaga pohon agar tetap memberi oksigen disaat suhu bumi yang
tengah meningkat. Pohon-pohon yang besar ini akan mengatur sirkulasi air.
Dimana, air laut yang menguap akibat panas matahari berkumpul menjadi embun dan
ditiup angin ke daerah lembab, Embun yang berisi kandungan air ini di daerah
lembab akan menjadi hujan. Air hujan ini nantinya akan ditahan oleh akar-akar
pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju sumbernya
(muaranya) lagi yaitu laut. Berikut ini adalah video mengenai siklus hidrologi yang saya paparkan barusan:
Siklus Hidrologi
Tumbuh-tumbuhan
telah banyak berjasa terhadap manusia. Dengan tulus ikhlas memberikan
kesempatan kepada manusia untuk memetik daunnya, buahnya, bahkan sampai
batangnya dan akar diambil pun mereka rela. Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasih
sayang dan rasa peduli kepada makhluk lainnya walaupun tidak sekelompok spesies
dengan mereka. Tumbuhan mampu memberi makan dan menyediakan kebutuhan binatang
dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti sayur, buah, kayu, serta rasa
aman tempat berteduh.
Perwujudan
Tumpek Wariga sebagai bentuk adaptasi orang Bali dalam menghadapi perubahan
iklim bukan sebatas pada ritual semata. Kebutuhan orang Bali akan berbagai
jenis tanaman untuk perlengkapan upacara menjadikan penanaman pohon sebagai
suatu kewajiban. Bagi masyarakat Bali, kalau tanaman tersebut tidak ada maka
upacara adat terasa kurang lengkap. Bahkan bagi beberapa kelompok masyarakat
hal tersebut dipercaya akan mendatangkan bencana atau musibah. Kepercayaan
inilah yang membuat mereka tetap menanam tumbuhan yang senantiasa menjadi
kebutuhan upacara adat maupun sehari-hari.
Misalkan
saja kebutuhan akan tanaman bambu yang banyak manfaatnya bagi orang Bali. Sebagai
sarana utama pembuatan penjor dan daunnya yang dimanfaatkan untuk sarana pelengkap
dalam sesajen. Jika orang Bali menebang semua bambu tetapi tidak pernah
menanamnya atau membiarkan satu tanaman induknya, upacara akan tidak lengkap.
Tidak ada lagi penjor yang berdiri kokoh saat perayaan Galungan. Tiada lagi
sesajen yang dihaturkan. Pohon bambu memiliki manfaat yang besar pula terhadap
lingkungan, terutama sebagai penyangga tanah. Akar bambu mampu menahan aliran
air yang mengikis tanah sehingga tidak terjadi longsor khususnya di tepi aliran
sungai.
Perayaan
Tumpek Wariga merupakan satu dari ribuan kearifan lokal yang mengajarkan
hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Ditengah kondisi perubahan
iklim yang terjadi, menanam pohon secara kontinu sebagai sebuah kebutuhan
adalah sebuah langkah sederhana. Namun, dari langkah kecil itulah kita mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang serba ekstrim seperti sekarang.
Tanpa
tumbuh-tumbuhan semua makhluk hidup tidak dapat melangsungkan hidupnya di bumi
ini. Mengapa? Karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah
tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah pemberian dari bumi dan langit
kepada semua makhluk hidup. Bumi memberikan tanah. Langit menurunkan hujan
untuk berkembangnya tumbuh-tumbuhan. Jangan lupa juga akan oksigen yang dihasilkan di tiap napas kita oleh tumbuhan.
Memelihara
lingkungan bagi masyarakat Bali sudah menjadi yadnya (sedekah). Oleh karena itu dalam masyarakat Hindu Bali mengenal
prinsip ”tebang satu, tanam kembali”. Ketika orang Bali menebang pohon, di
bekas tebangan akan ditancapkan ranting atau dedaunan. Maknanya: bekas tebangan
itu wajib ditanami kembali dengan harapan pohon tadi takkan punah tetapi akan
tumbuh kembali.
Sebagai
manusia hubungan baik dengan lingkungan memang harus tetap dijaga. Dengan
dilaksanakannya Tumpek Wariga ini, masyarakat Bali setidaknya diajak untuk
ingat atas jasa-jasa tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga
lingkungan, dan sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan
hukum aksi reaksi. Hal ini pulalah yang menyebabkan terlahirnya Oxfam. Bagi yang
belum tahu Oxfam, Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas
organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan
global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan
akibat kemiskinan.
Semoga dengan kearifan lokal dan kegiatan seperti ini, perubahan iklim bisa dihentikan (Atau minimal dikurangi). Apalagi tentu di belahan Indonesia lainnya, bahkan di dunia, pasti masih ada usaha - usaha masyarakat untuk mengurangi perubahan iklim. Meski sedikit, tapi itu sangat berarti bagi planet ini. Bumi membutuhkan aksi nyata kita semua. Peran serta seluruh umat manusia.
Tabik.
No comments:
Post a Comment