ilustrasi: hinduwebsite |
Wahai Bumi, semoga apa yang hamba gali dari-Mu, segera dengan cepat pulih/ tumbuh kembali. Wahai Sang Pemurni, semoga hamba tidak menembus daerah vital dan hati-Mu.
(Prthivi Sukta, Atharvaveda, 12.1.35)
Dalam Atharvaveda terdapat 63 mantra yang didedikasikan untuk Bumi (Prthivi/Pertiwi). Ke-63 mantra tersebut sangat memuliakan keberadaan Pertiwi dalam hubungannya dengan manusia.
Dikatakan bahwa Bumi adalah tempat bagi hidup segala jenis tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis hewan. Demikian juga bumi adalah sumber dari seluruh mahluk hidup mendapatkan makanan mereka. Tidak akan pernah ada kehidupan jika bumi ini tidak ada. Sehingga dengan demikian, seluruh kehidupan pada prinsipnya sangat berhutang kepada Bumi. Atas ketergantungan itulah, untuk memuliakan bumi, mantra ini khusus diturunkan untuk memuliakan bumi, serta menggaris bawahi pedoman perilaku kita terhadap bumi.
Salah satu mantra tersebut adalah sebagaimana yang dinyatakan di atas. Oleh karena kita sangat tergantung dan berhutang terhadap Bumi, maka kita harus memperlakukan Bumi dengan sebagaimana mestinya.
Mantra di atas mengindikasikan bahwa kita jangan sampai melukai Bumi ini. Kita diharapkan agar jangan sampai terlalu banyak intervensi terhadap alam. Sedikit apapun kita intervensi, kita harus segera melakukan tindakan pemulihan, sebab jika tidak, intervensi tersebut akan berbalik kepada manusia dan menghancurkan manusia.
Alam memiliki pemulihannya sendiri secara alami jika terjadi kerusakan, namun tidak mampu melebihi kapasitas dirinya. Sehingga kita mesti berhati - hati memperlakukan Bumi agar jangan sampai melebihi kapasitas pemulihan alami bumi itu sendiri.
Salah satu kegiatan manusia yang paling mengintervensi bumi selama ini adalah kegiatan ekonomi. Karena kegiatan inilah ekploitasi alam terjadi secara berlebih. Demikian juga oleh karena aktivitas ekonomi, polusi baik tanah, air, Maupun udara terjadi secara berlebih.
Kegiatan ekonomi ini juga menciptakan kaum kapitalis yang menguasai sebagian besar sumber daya yang ada. Karena itu, kaum environmentalis melihat bahwa kehidupan yang selaras dengan alam dan sederhanalah yang dapat menjaga bumi tetap lestari.
Kenyamanan yang dibentuk oleh adanya kegiatan ekonomi yang berlebih ini diprediksi sebagai alat untuk mendorong kehancuran. Kenyamanan yang dibuat oleh barang - barang super mewah sifatnya semu dan segera akan menghancurkan peradaban manusia.
Oleh karena itu, hidup sederhana adalah pilihan yang paling tepat. Dalam konteks ini, jika kita mampu memahami esensi dari apa yang dinyatakan oleh Prthivi Sukta Atharvaveda tersebut, maka kita tidak lagi bernafsu untuk mengeksploitasi alam hanya untuk tujuan ekonomi atau untuk tujuan lainnya.
Salah satu cara terbaik untuk melestarikan alam adalah dengan tidak mengintervensinya. Membiarkan alam tanpa campur tangan kita adalah cara yang terbaik. Inilah yang diindikasikan oleh mantra Atharvaveda di atas.
Jika ini kriterianya, maka Hindu memberikan garis yang tegas bahwa kegiatan ekonomi jangan sampai mengintervensi alam, sebag intervensi, apapun tujuannya, akan menyebabkan ketidak seimbangan.
Bali, yang dulu dikenal dengan keseimbangan hidup sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, kini menghadapi tantangan yang serius., sebab konsep Tri Hita Karana ini justru dijadikan alasan untuk mengintervensi alam dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Maka dengan cara yang sama, niat melakukan revitalisasi dengan cara menimbun 700 hektare di Teluk Benoa secara vedik bertentangan.
Bukan karena kawasan tersebut kawasan suci, atau apapun, sehingga niat tersebut musti ditolak, tetapi lebih dari pada itu adalah intervensi itu sendiri. Veda mengindikasikan bahwa kita jangan sampai mengintervensi alam, sebab, alam itu sendiri akan berbalik menyerang dan menghancurkan kita.
Atas dasar ini, kita sebagai orang Bali, yang masih memiliki sedikit harapan atas kelestarian Bali, mesti menolak ide revitalisasi (baca: reklamasi) tersebut.
Dr. I Gede Suwantana, M.Ag
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta,
Dosen Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar
(dimuat dalam Harian Nusa Bali, edisi Rabu, 4 Pebruari 2016, hal. 7)
No comments:
Post a Comment